KHALIFAH RASYIDAH
Novia Nur Fadhila
PENDAHULUAN
Masa Khilafah
Rasyidah merupakan masa kepemimpinan setelah Nabi Muhammad saw wafat.,
yaitu mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada ‘Ali ibn Abi Thalib. Para
khalifahnya disebut Al-Khulafa’ Al-Rasyidun (khalifah-khalifah yang
mendapat petunjuk).[1]
Al-Khulafa’ Al-Rasyidun bertugas
menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad
saw dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai kepala Negara atau kepala
pemerintahan dan pemimpin agama.
Tugas Al-Khulafa’
Al-Rasyidun sebagai kepala negara adalah mengatur kehidupan rakyatnya agar
tercipta kehidupan yang damai, adil, makmur, aman, dan sentosa. Sedangkan
sebagai tugas sebagai pemimpin agama adalah mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan masalah keagamaan. Jika terjadi perselisihan pendapat Al-Khulafa’
Al-Rasyidun maka khalifah berhak mengambil keputusan. Namun
demikian Al-Khulafa’ Al-Rasyidun tetap melakukan musyawarah kepada para
sahabat.
Setelah
Nabi Muhammad saw. wafat, sebagai pemimpin pemerintahan, beliau tidak pernah
meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai
pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan
persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Hal ini
menunjukkan bahwa kepemimpinan dipilih tidak harus berasal dari keluarga atau
keturunannya. Namun berdasarkan sikap kepemimpinan, kedalaman ilmu dan
akhlaknya.
Karena
itulah tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan,
sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di Balai Kota Bani Sa’idah,
Madinah.[2]
Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu
berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun
Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan
semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya,
semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam,
sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.[3]
Abu
Bakar adalah khalifah pertama di masa khilafah rasyidah atau setelah wafatnya
Nabi Muhammad. Dan masih ada tiga khalifah lainnya yaitu ‘Umar ibn Khathab,
‘Utsman ibn ‘Affan, dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Sehingga diperlukan penjelasan
lebih lanjut tentang sejarah dari tiap-tiap masa khalifah.
PEMBAHASAN
A. Abu Bakar
Abu Bakar merupakan
seorang pendukung dan teman setia Nabi Muhammad saw p’aling awal, yang percaya
kepada Nabi Muhammad saw, dan memimpin shalat jama’ah selama sakit terakhir
yang diderita Nabi Muhammad saw. bahkan Abu Bakar diberi gelar Ash-Shiddiq
(yang percaya). Abu Bakar melaksanakan semua
tugas dan meneladani semua keistimewaan Nabi Muhammad saw. Sebagai pemimpin
umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah.[4]
Abu
Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun[5].
Dalam kurun dua tahun tersebut beliau habiskan untuk menyelesaikan persoalan
dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa arab
yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Madinah. Mereka menganggap,
bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad saw, dengan sendirinya telah
batal setelah Nabi Muhammad saw wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar.
Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama
dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut
Perang Riddah.[6]
Dan Kh’alid ibn Al-W’alid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam perang
Riddah ini.
Kekuasaan
yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, dijalankan sebagaimana pada masa
Nabi Muhammad saw, bersifat central, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah
juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad saw, Abu
Bakar selalu mengajak sahabat-sahabt besarnya untuk bermusyawarah.
Setelah
menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan
ke luar Arabia. Kh’alid ibn W’alid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hirah
di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat jenderal
yaitu, Abu Ubaidah, Amr ibn ‘Ash, Yazid ubn Abi Sufyan, dan Syurahbil.
Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat
tentara ini, Kh’alid ibn W’alid diperintahkan meninggalkan Irak dan melalui
gurun pasir yang jarang dijalani, dia sampai ke Syria.
Pada
tahun 634 M pula Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan
Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Abu Bakar perannya
sebagai khalifah diganti oleh “tangan kanan”nya, yaitu ‘Umar ibn Khathab.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan
para pemuka sahabat, kemudian mengangkat ‘Umar sebagai penggantinya dengan
maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di
kalangan umat Islam.[7] Kebijaksanaan Abu Bakar
tersebut ternyata diterima oleh masyarakat yang segera secara beramai-ramai
membaiat ‘Umar.
B. ‘Umar ibn Khathab
‘Umar
pernah menggunakan gelar Khalifah kh’alifati Rasulillah. Namun dalam
perkembangannya menggunakan istilah khalifah kedua. Selain gelar tersebut, ‘Umar
juga menperoleh gelar Amir Al-Mu’minin, karena ia seorang khalifah yang juga menjabat
panglima tertingggi pasukan Islam.[8] ‘Umar menjabat sebagai khalifah
kedua selama 10 tahun (634-644 M)[9].
Pada
zaman ‘Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi,
ibu kota Syria, Damaskus, jatuh pada tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah
tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke
bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan
ke Mesir di bawah pimpinan ‘Amr ibn ‘Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad
ibn Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kta Mesir, ditaklukkan pada tahun 641 M. dari
sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, Al-Madain yang jatuh pada tahun
itu juga. Pada tahun 641 M pula, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada
masa ‘Umar, wilayah Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria,
sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.[10]
Perluaasan
daerah kekuasaan yang terjadi dengan cepat menyebabkan ‘Umar segera mengatur
administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang
terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah
propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistempembayaran gaji dan pajak
tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan
lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, maka dibentuklah
jawatan kepolisian. Demikian pula jawatan pekerjaan umum.[11] ‘Umar juga mendirikan
Bait Al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijriyah.[12]
‘Umar
memerintah selama sepuluh tahun. Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia
dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk menentukan
penggantinya, ‘Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan oleh Abu Bakar. Menjelang
wafatnya ‘Umar telah membentuk sebuah dewan formatur yang beranggotakan enam
orang; ‘ali ibn Abi Th’alib, ‘Utsman ibn ‘Affan, Zubayr ibn Al-‘Awwam, Thalhah
ibn ‘Abdullah, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan ‘Abdurrahman ibn ‘Auf. [13]
Dewan
formatur tersebut meliputi para sahabat tertua dan terkemuka, hal ini
menunjukkan bahwa gagasan Arab kuno tentang kepala suku telah mengalahkan
gagasan tentang kerajaan turun temurun. Setelah ‘Umar wafat, dewan formatur
tersebut bermusyawarah dan menghasilkan mufakat bahwa khalifah pengganti setelah
‘Umar adalah ‘‘Utsman ibn ‘Affan.
C. ‘Utsman ibn ‘Affan
Kesenioritasan
kesukuan ‘Utsman menjadi penentu terpilihnya ‘Utsman sebagai khalifah ketiga
yang mengungguli ‘ali ibn Abi Th’alib. ‘Utsman mewakili aristokrat Umayyah,
berbeda dengan Abu Bakar dan ‘Umar yang mewakili kalangan Muhajirin.[14] Pemerintahan ‘Utsman
berlangsung selama dua belas tahun (644-655 M).[15]
Pada
masa pemerintahan ‘Utsman, wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian
yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil dikuasai[16]. Ekspansi Islam pertama
berhenti sampai disini. Dan sangat disayangkan karena belum selesai perjuangan
jihad ekspansi, kaum muslimin ditimpa bencana besar, yaitu pecahnya
pemberontakan melawan Amirul Mu’minin, Khalifah ‘Utsman. Hal ini bermula dari
perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadap ‘Utsman.[17]
Pemberontakan
dimulai dari sejumlah orang yang tidak puas dan kecewa serta dendam terhadap ‘Utsman,
sehingga meluas ke kota-kota besar Islam dan akhirnya sampai ke Madinah
sendiri. Kepemimpinan ‘Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan ‘Umar,
salah satunya mungkin karena ‘Utsman diangkat menjadi khalifah ketika usianya
sudah lanjut yaitu 70 tahun, dan sifatnya yang lemah lembut. Pada tahun 655 M ‘Utsman
dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah
satu factor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan ‘Utsman
adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang
terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang
menjalankan pemerintahan, sedangkan ‘Utsman hanya menyandang gelar khalifah.[18] Setelah banyak anggota
keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, ‘Utsman laksana boneka di
hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah
terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap bawahan. Harta kekayaan
negara, oleh kerabatnya dibagikan tanpa kontrol oleh ‘Utsman sendiri.
Merskipun
demikian tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan yang
penting. ‘Utsman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang
besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid Nabi Muhammad di
Madinah.
D. ‘Ali ibn Abi Thalib
Setelah
‘Utsman wafat, masyarakat yang dendam terhadap ‘Utsman mengangkat ‘Ali sebagai
khalifah pada tahun 656 M. Sementara masyarakat yang dendam terhadap
pembunuh-pembunuh ‘Utsman mengikuti Mu’awiyah ibn Abi Suyfan. Masa pemerintahan
‘Ali tidak lebih lama dari ‘Utsman, yaitu hanya enam tahun (656-661 M).[19]
Selama
masa pemerintahan, ‘Ali mengahadapi berbagai macam pergolakan. Tidak ada masa
sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah
menduduki jabatan sebagai khalifah, ‘Ali memecat gubernur yang diangkat oleh
‘Utsman. ‘Ali meyakini bahwa pemberontakanterjadi karena keteledoran mereka. ‘Ali
juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan ‘Utsman kepada penduduk dengan
menyerahkan hasil pendappatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem
distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah
diterapkan ‘Umar.[20]
Kemudian,
tidak lama setelah itu, ‘Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan
‘Aisyah. Alasan mereka, ‘Ali tidak mau menghukum para pembunuh ‘Utsman dan
mereka menuntut bela terhadap darah ‘Utsman yang telah ditumpahkan secara
zalim. ‘Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang, kemudian dia mengirim
surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan
perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak.
Akhirnya pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama
“perang jamal (unta)” karena ‘Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta.
‘Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak
melarikan diri, sedangkan ‘Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.[21]
Bersamaan dengan itu,
kebijaksanaan-kebijaksanaan ‘Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari
gubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oelh sejumlah mantan pejabat
tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan
pemberontakan Zubair, Thalhah dan ‘Aisyah. ‘Ali bergerak dari Kufah menuju
Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan
Mu’awiyah di Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi
tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya
golongan ketiga, al-khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali.
Akibatnya, di ujung masa pemerintahan ‘Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga
kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut ‘Ali), dan Al-khawarij
(orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan
‘Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah,
sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat.[22]
Pada tahun 661 M,
ketika ‘Ali sedang dalam perjalanan menuju masjid Kufah, ‘Ali terkena hantaman
pedang beracun di dahinya. Pedang tersebut, yang mengenai otaknya, diayunkan
oleh seorang pengikut kelompok Khawarij, ‘Abd al-Rahman ibn Muljam, yang ingin
membalas dendam atas kematiaan keluarga seorang wanita, temannya, yang terbunuh
di Nahrawan.[23]
Dan dengan meninggalnya ‘Ali maka masa Khilafah Rasyidah pun telah berakhir.
Setelah ‘Ali wafat,
maka sebagian besar kaum muslimin bersepakat mendukung Mu’awiyah menjadi
khalifah. Setelah masa Khilafah Rasyidah berakhir, kaum muslimin terpecah ke
dalam tiga kelompok besar[24], yaitu:
1.
Jumhurul Muslimin,
yang mendukung Mu’awiyah dan pemerintahannya
2.
Syi’ah,
yang tetap mencintai ‘Ali dan ahli bait-nya serta menentang keras regim
Mu’awiyah
3.
Khawarij, yang marah
mendendam kepada ‘Utsman, ‘Ali, dan Mu’awiyah
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa Khilafah
Rasyidah merupakan masa kepemimpinan setelah Nabi Muhammad saw wafat.,
yaitu mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada ‘Ali ibn Abi Thalib. Para
khalifahnya disebut Al-Khulafa’ Al-Rasyidun (khalifah-khalifah yang
mendapat petunjuk). Al-Khulafa’ Al-Rasyidun bertugas menggantikan
kepemimpinan Nabi Muhammad saw dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai kepala
Negara atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama.
Ciri masa khilafah ini
adalah para khalifah betul-betul berusaha menurut teladan Nabi Muhammad saw.
mereka dipilih melalui proses musyawarah. Khalifah
pada masa ini tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi
kesulitan. Mereka selalu bermusyawarah dengan pemuka-pemuka atau
pembesar-pembesar yang lain.
Masa
jabatan sebagai khalifah pada khilafah rasyidah tidak ada yang lebih dari 12
tahun, yang paling singkat adalah pada khalifah Abu Bakar yaitu hanya dua
tahun, dan masa jabatan sebagai khalifah yang terlama adalah pada khalifah
‘Utsman yaitu dua belas tahun. Setiap masa kekhalifahan memiliki permasalahan
dan polemik yang berbeda-beda. Dan pada masa ‘Ali-lah dikenal sebagai masa
pemberontakan umat Islam dan perpecahan sesama umat Islam.
Masa
jabatan setiap khalifah berakhir setelah khalifah tersebut meninggal dunia. Abu
Bakar meninggal karena sakit, sedangkan ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali meninggal dengan
cara yang zalim, yaitu dengan dibunuh. ‘Umar dibunuh oleh seorang budak dari
Persia bernama Abu Lu’lu’ah. ‘Utsman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri
dari orang-orang yang selalu berhasil dihasut oleh ‘Abdullah ibn Saba’. Dan
‘Ali dibunuh oleh seorang pengikut kelompok Khawarij, ‘Abd al-Rahman ibn
Muljam.
Dan
dengan wafatnya ‘Ali maka masa Khilafah Rasyidah pun telah berakhir. Setelah
masa Khilafah Rasyidah berakhir, kaum muslimin terpecah ke dalam tiga kelompok
besar, yaitu:
1)
Jumhurul Muslimin,
yang mendukung Mu’awiyah dan pemerintahannya
2)
Syi’ah,
yang tetap mencintai ‘Ali dan ahli bait-nya serta menentang keras regim
Mu’awiyah
3)
Khawarij,
yang marah mendendam kepada ‘Utsman, ‘Ali, dan Mu’awiyah.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin,
Ahmad. 1987. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV. Rusyda.
Hasan,
Hasan Ibrahim. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta:Kota Kembang.
Hasjmy,
Ahmad. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Hitti, Philip. K.
2002. History of the Arabs; From The Earliest Times To The Present. New
York: Palgrave Macmillan. Edisi revisi ke-10. Diterjemahkan oleh R. Cecep
Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. 2006. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Nasution, Harun. 1985.
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1. Jakarta: UI Press.
Nu’man, Syibli. 1981. Umar
yang Agung. Bandung: Penertbit Pustaka.
Syalabi,
Ahmad. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid 1. Jakarta: Pustaka
Al-Husna.
Yatim,
Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
[3] Hasan Ibrahim Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Yogyakarta:Kota Kembang. 1989. h.34
[4] Khalifah Rasulillah berarti pengganti rasul, yang dalam perkembangan
selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat
setelah Nabi Muhammad saw wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan
tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. (Badri
Yatim. Op. cit. H.35.)
[5] Abu
Bakr (632-634 M), pada tahun 634 M, Abu Bakar wafat. (Philip. K. Hitti. History of the Arabs;
From The Earliest Times To The Present. New York: Palgrave Macmillan. Edisi
revisi ke-10. 2002. Diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. h.218)
[6]
Perang Riddah adalah perang melawan kemurtadan. (Badri Yatim. Op. cit. h.36)
[7]
Hasan Ibrahim Hasan. Op.cit.h.38
[8]
Diriwayatkan ‘Umar pernah menggunakan gelar Khalifah kh’alifati Rasulillah
(pengganti dari pengganti Rasulullah). Karena terdengar terlalu panjang maka
diperpendek menjadi khalifah kedua. ‘Umar dinobatkan sebagai khalifah pertama
yang sek’aligus memangku jabatan penglima tertinggi pasukan Islam, dengan gelar
khusus Amir Al-Mu’minin (Komandan/Panglima orang-orang beriman. (Philip. K.
Hitti. Op.cit.h.222 dan Badri Yatim. Op.cit.h.37)
[9] Ibid.h 222 dan Ibid.h.38
[10]
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1. Jakarta:
UI Press. 1985.h.58
[13]
Ibid. h.267 dan Philip. K. Hitti. Op.cit.h.223.
[14]
Ibid. Philip. K. Hitti. h.223.
[16]
Ibid.
[17]
Ahmad Hasjmy. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
h.126.
[18]
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV. Rusyda. 1987. h.87
[19]
Philip. K. Hitti. Op.cit.h.224 dan 227
[20]
Hasan Ibrahim Hasan. Op.cit.h.62.
[21]Philip.
K. Hitti. Op.cit.h.224.
[22]Ibid.
225-226.
[23] Ibn
Muljam adalah salah satu dari tiga orang yang bersumpah di depan Ka’bah bahwa
pada hari yang sama mereka akan membersihkan komunitas Islam dari tiga tokoh
pengacau: ‘Ali, Mu’awiyah, dan ‘Amr ibn ‘Ash.(Ibid. 227.)
[24]
Ahmad Hasjmy. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
1995.h.129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar