Senin, 13 April 2015

KHALIFAH RASYIDAH



KHALIFAH RASYIDAH
Novia Nur Fadhila

PENDAHULUAN
Masa Khilafah Rasyidah merupakan masa kepemimpinan setelah Nabi Muhammad saw wafat., yaitu mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada ‘Ali ibn Abi Thalib. Para khalifahnya disebut Al-Khulafa’ Al-Rasyidun (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk).[1] Al-Khulafa’ Al-Rasyidun bertugas
menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad saw dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai kepala Negara atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama.
Tugas Al-Khulafa’ Al-Rasyidun sebagai kepala negara adalah mengatur kehidupan rakyatnya agar tercipta kehidupan yang damai, adil, makmur, aman, dan sentosa. Sedangkan sebagai tugas sebagai pemimpin agama adalah mengatur hal-hal yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Jika terjadi perselisihan pendapat Al-Khulafa’ Al-Rasyidun maka khalifah berhak mengambil keputusan. Namun demikian Al-Khulafa’ Al-Rasyidun tetap melakukan musyawarah kepada para sahabat.
Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, sebagai pemimpin pemerintahan, beliau tidak pernah meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dipilih tidak harus berasal dari keluarga atau keturunannya. Namun berdasarkan sikap kepemimpinan, kedalaman ilmu dan akhlaknya.
Karena itulah tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di Balai Kota Bani Sa’idah, Madinah.[2] Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.[3]
Abu Bakar adalah khalifah pertama di masa khilafah rasyidah atau setelah wafatnya Nabi Muhammad. Dan masih ada tiga khalifah lainnya yaitu ‘Umar ibn Khathab, ‘Utsman ibn ‘Affan, dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Sehingga diperlukan penjelasan lebih lanjut tentang sejarah dari tiap-tiap masa khalifah.

PEMBAHASAN
A.  Abu Bakar
Abu Bakar merupakan seorang pendukung dan teman setia Nabi Muhammad saw p’aling awal, yang percaya kepada Nabi Muhammad saw, dan memimpin shalat jama’ah selama sakit terakhir yang diderita Nabi Muhammad saw. bahkan Abu Bakar diberi gelar Ash-Shiddiq (yang percaya). Abu Bakar melaksanakan semua tugas dan meneladani semua keistimewaan Nabi Muhammad saw. Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah.[4]
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun[5]. Dalam kurun dua tahun tersebut beliau habiskan untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Madinah. Mereka menganggap, bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad saw, dengan sendirinya telah batal setelah Nabi Muhammad saw wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah.[6] Dan Kh’alid ibn Al-W’alid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam perang Riddah ini.
Kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, dijalankan sebagaimana pada masa Nabi Muhammad saw, bersifat central, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad saw, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabt besarnya untuk bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Kh’alid ibn W’alid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat jenderal yaitu, Abu Ubaidah, Amr ibn ‘Ash, Yazid ubn Abi Sufyan, dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Kh’alid ibn W’alid diperintahkan meninggalkan Irak dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, dia sampai ke Syria.
Pada tahun 634 M pula Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Abu Bakar perannya sebagai khalifah diganti oleh “tangan kanan”nya, yaitu ‘Umar ibn Khathab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat ‘Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam.[7] Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima oleh masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat ‘Umar.
B.  Umar ibn Khathab
‘Umar pernah menggunakan gelar Khalifah kh’alifati Rasulillah. Namun dalam perkembangannya menggunakan istilah khalifah kedua. Selain gelar tersebut, ‘Umar juga menperoleh gelar Amir Al-Mu’minin, karena ia seorang khalifah yang juga menjabat panglima tertingggi pasukan Islam.[8] ‘Umar menjabat sebagai khalifah kedua selama 10 tahun (634-644 M)[9].
Pada zaman ‘Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi, ibu kota Syria, Damaskus, jatuh pada tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ‘Amr ibn ‘Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kta Mesir, ditaklukkan pada tahun 641 M. dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, Al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M pula, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa ‘Umar, wilayah Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.[10]
Perluaasan daerah kekuasaan yang terjadi dengan cepat menyebabkan ‘Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistempembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, maka dibentuklah jawatan kepolisian. Demikian pula jawatan pekerjaan umum.[11] ‘Umar juga mendirikan Bait Al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijriyah.[12]
‘Umar memerintah selama sepuluh tahun. Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk menentukan penggantinya, ‘Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan oleh Abu Bakar. Menjelang wafatnya ‘Umar telah membentuk sebuah dewan formatur yang beranggotakan enam orang; ‘ali ibn Abi Th’alib, ‘Utsman ibn ‘Affan, Zubayr ibn Al-‘Awwam, Thalhah ibn ‘Abdullah, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan ‘Abdurrahman ibn ‘Auf. [13]   
Dewan formatur tersebut meliputi para sahabat tertua dan terkemuka, hal ini menunjukkan bahwa gagasan Arab kuno tentang kepala suku telah mengalahkan gagasan tentang kerajaan turun temurun. Setelah ‘Umar wafat, dewan formatur tersebut bermusyawarah dan menghasilkan mufakat bahwa khalifah pengganti setelah ‘Umar adalah ‘‘Utsman ibn ‘Affan.
C.  ‘Utsman ibn ‘Affan
Kesenioritasan kesukuan ‘Utsman menjadi penentu terpilihnya ‘Utsman sebagai khalifah ketiga yang mengungguli ‘ali ibn Abi Th’alib. ‘Utsman mewakili aristokrat Umayyah, berbeda dengan Abu Bakar dan ‘Umar yang mewakili kalangan Muhajirin.[14] Pemerintahan ‘Utsman berlangsung selama dua belas tahun (644-655 M).[15]
Pada masa pemerintahan ‘Utsman, wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil dikuasai[16]. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai disini. Dan sangat disayangkan karena belum selesai perjuangan jihad ekspansi, kaum muslimin ditimpa bencana besar, yaitu pecahnya pemberontakan melawan Amirul Mu’minin, Khalifah ‘Utsman. Hal ini bermula dari perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadap ‘Utsman.[17]
Pemberontakan dimulai dari sejumlah orang yang tidak puas dan kecewa serta dendam terhadap ‘Utsman, sehingga meluas ke kota-kota besar Islam dan akhirnya sampai ke Madinah sendiri. Kepemimpinan ‘Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan ‘Umar, salah satunya mungkin karena ‘Utsman diangkat menjadi khalifah ketika usianya sudah lanjut yaitu 70 tahun, dan sifatnya yang lemah lembut. Pada tahun 655 M ‘Utsman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu factor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan ‘Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan ‘Utsman hanya menyandang gelar khalifah.[18] Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, ‘Utsman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagikan tanpa kontrol oleh ‘Utsman  sendiri.
Merskipun demikian tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. ‘Utsman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid Nabi Muhammad di Madinah.
D.  ‘Ali ibn Abi Thalib
Setelah ‘Utsman wafat, masyarakat yang dendam terhadap ‘Utsman mengangkat ‘Ali sebagai khalifah pada tahun 656 M. Sementara masyarakat yang dendam terhadap pembunuh-pembunuh ‘Utsman mengikuti Mu’awiyah ibn Abi Suyfan. Masa pemerintahan ‘Ali tidak lebih lama dari ‘Utsman, yaitu hanya enam tahun (656-661 M).[19]
Selama masa pemerintahan, ‘Ali mengahadapi berbagai macam pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan sebagai khalifah, ‘Ali memecat gubernur yang diangkat oleh ‘Utsman. ‘Ali meyakini bahwa pemberontakanterjadi karena keteledoran mereka. ‘Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan ‘Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendappatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan ‘Umar.[20]
Kemudian, tidak lama setelah itu, ‘Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan ‘Aisyah. Alasan mereka, ‘Ali tidak mau menghukum para pembunuh ‘Utsman dan mereka menuntut bela terhadap darah ‘Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim. ‘Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang, kemudian dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama “perang jamal (unta)” karena ‘Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. ‘Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan ‘Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.[21]
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan ‘Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oelh sejumlah mantan pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan ‘Aisyah. ‘Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan ‘Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut ‘Ali), dan Al-khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan ‘Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat.[22]
Pada tahun 661 M, ketika ‘Ali sedang dalam perjalanan menuju masjid Kufah, ‘Ali terkena hantaman pedang beracun di dahinya. Pedang tersebut, yang mengenai otaknya, diayunkan oleh seorang pengikut kelompok Khawarij, ‘Abd al-Rahman ibn Muljam, yang ingin membalas dendam atas kematiaan keluarga seorang wanita, temannya, yang terbunuh di Nahrawan.[23] Dan dengan meninggalnya ‘Ali maka masa Khilafah Rasyidah pun telah berakhir.
Setelah ‘Ali wafat, maka sebagian besar kaum muslimin bersepakat mendukung Mu’awiyah menjadi khalifah. Setelah masa Khilafah Rasyidah berakhir, kaum muslimin terpecah ke dalam tiga kelompok besar[24], yaitu:
1.    Jumhurul Muslimin, yang mendukung Mu’awiyah dan pemerintahannya
2.    Syi’ah, yang tetap mencintai ‘Ali dan ahli bait-nya serta menentang keras regim Mu’awiyah
3.    Khawarij, yang marah mendendam kepada ‘Utsman, ‘Ali, dan Mu’awiyah

PENUTUP
A.  Kesimpulan
Masa Khilafah Rasyidah merupakan masa kepemimpinan setelah Nabi Muhammad saw wafat., yaitu mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada ‘Ali ibn Abi Thalib. Para khalifahnya disebut Al-Khulafa’ Al-Rasyidun (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Al-Khulafa’ Al-Rasyidun bertugas menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad saw dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai kepala Negara atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama.
Ciri masa khilafah ini adalah para khalifah betul-betul berusaha menurut teladan Nabi Muhammad saw. mereka dipilih melalui proses musyawarah. Khalifah pada masa ini tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan. Mereka selalu bermusyawarah dengan pemuka-pemuka atau pembesar-pembesar yang lain.
Masa jabatan sebagai khalifah pada khilafah rasyidah tidak ada yang lebih dari 12 tahun, yang paling singkat adalah pada khalifah Abu Bakar yaitu hanya dua tahun, dan masa jabatan sebagai khalifah yang terlama adalah pada khalifah ‘Utsman yaitu dua belas tahun. Setiap masa kekhalifahan memiliki permasalahan dan polemik yang berbeda-beda. Dan pada masa ‘Ali-lah dikenal sebagai masa pemberontakan umat Islam dan perpecahan sesama umat Islam.  
Masa jabatan setiap khalifah berakhir setelah khalifah tersebut meninggal dunia. Abu Bakar meninggal karena sakit, sedangkan ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali meninggal dengan cara yang zalim, yaitu dengan dibunuh. ‘Umar dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. ‘Utsman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang selalu berhasil dihasut oleh ‘Abdullah ibn Saba’. Dan ‘Ali dibunuh oleh seorang pengikut kelompok Khawarij, ‘Abd al-Rahman ibn Muljam.
Dan dengan wafatnya ‘Ali maka masa Khilafah Rasyidah pun telah berakhir. Setelah masa Khilafah Rasyidah berakhir, kaum muslimin terpecah ke dalam tiga kelompok besar, yaitu:
1)   Jumhurul Muslimin, yang mendukung Mu’awiyah dan pemerintahannya
2)   Syi’ah, yang tetap mencintai ‘Ali dan ahli bait-nya serta menentang keras regim Mu’awiyah
3)   Khawarij, yang marah mendendam kepada ‘Utsman, ‘Ali, dan Mu’awiyah.



DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. 1987. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV. Rusyda.

Hasan, Hasan Ibrahim. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta:Kota Kembang.

Hasjmy, Ahmad. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Hitti, Philip. K. 2002. History of the Arabs; From The Earliest Times To The Present. New York: Palgrave Macmillan. Edisi revisi ke-10. Diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. 2006. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1. Jakarta: UI Press.

Nu’man, Syibli. 1981. Umar yang Agung. Bandung: Penertbit Pustaka.

Syalabi, Ahmad. 1987. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.










[1] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2008. h.42
[2] Ibid. h.35.
[3] Hasan Ibrahim Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta:Kota Kembang. 1989. h.34
[4] Khalifah Rasulillah berarti pengganti rasul, yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat setelah Nabi Muhammad saw wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. (Badri Yatim. Op. cit. H.35.)
[5] Abu Bakr (632-634 M), pada tahun 634 M, Abu Bakar wafat.  (Philip. K. Hitti. History of the Arabs; From The Earliest Times To The Present. New York: Palgrave Macmillan. Edisi revisi ke-10. 2002. Diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. h.218)
[6] Perang Riddah adalah perang melawan kemurtadan. (Badri Yatim. Op. cit. h.36)
[7] Hasan Ibrahim Hasan. Op.cit.h.38
[8] Diriwayatkan ‘Umar pernah menggunakan gelar Khalifah kh’alifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Karena terdengar terlalu panjang maka diperpendek menjadi khalifah kedua. ‘Umar dinobatkan sebagai khalifah pertama yang sek’aligus memangku jabatan penglima tertinggi pasukan Islam, dengan gelar khusus Amir Al-Mu’minin (Komandan/Panglima orang-orang beriman. (Philip. K. Hitti. Op.cit.h.222 dan Badri Yatim. Op.cit.h.37)
[9] Ibid.h 222 dan Ibid.h.38
[10] Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1. Jakarta: UI Press. 1985.h.58
[11] Syibli Nu’man. ‘Umar yang Agung. Bandung: Penertbit Pustaka. 1981. H.246-276 dan 324-418
[12] A. Syalabi. Sejarah dan kebudayaan Islam. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1987. H.263
[13] Ibid. h.267 dan Philip. K. Hitti. Op.cit.h.223.
[14] Ibid. Philip. K. Hitti. h.223.
[15] Badri Yatim. Op. cit. h.38.
[16] Ibid.
[17] Ahmad Hasjmy. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang. h.126.
[18] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV. Rusyda. 1987. h.87
[19] Philip. K. Hitti. Op.cit.h.224 dan 227
[20] Hasan Ibrahim Hasan. Op.cit.h.62.
[21]Philip. K. Hitti. Op.cit.h.224.
[22]Ibid. 225-226.
[23] Ibn Muljam adalah salah satu dari tiga orang yang bersumpah di depan Ka’bah bahwa pada hari yang sama mereka akan membersihkan komunitas Islam dari tiga tokoh pengacau: ‘Ali, Mu’awiyah, dan ‘Amr ibn ‘Ash.(Ibid. 227.)
[24] Ahmad Hasjmy. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1995.h.129.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar