Kamis, 08 Oktober 2015

TASAWUF; MAQAMAT DAN AHWAL



PEMIKIRAN ISLAM
TASAWUF; MAQAMAT DAN AHWAL
Novia Nur Fadhila

I.     PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Tasawuf merupakan salah satu disiplin ilmu yang lebih memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia, sehingga dapat dikatakan tasawuf lebih menekankan kepada kehidupan akhirat dibandingkan dengan kehidupan di dunia. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keIslaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keIslaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan. Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Untuk itu penulis akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam tasawuf.

II.  PEMBAHASAN
A.  Tasawuf
1.    Pengertian Tasawuf
Tasawuf secara linguistic (kebahasaan) dapat dipahamai bahwa tasawuf merupakan sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang seperti itu pada hakikatnya adalah moral-moral yang berazaskan Islam.
Tasawuf adalah usaha membangun manusia dalam hal tutur kata, perbuatan, serta gerak hati, baik dalam skala kecil, yaitu pribadi atau dalam skala yang lebih besar, dengan menjadikan hubungan kepada Allah Swt sebagai bagi semua itu.[1] Kemudian menurut ‘Abdul Qadir Isa tasawuf adalah penjernihan hati dari kotoran materi, dan pondasinya adalah hubungan manusia dengan sang pencipta yang Agung.[2]
Tasawuf yang ideal adalah tasawuf mistis. Tasawuf sebagai jalan spritual menuju Allah, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, berintikan akhlak mulia, mendekatkan manusia pada Allah, tetap setia pada syari’at, menekankan keseimbangan antara aspek-aspek lahiriah dan batiniah, material dan spiritual, duniawi dan ukhrawi, berpihak kepada orang-orang lemah dan tertindas.[3]
Berdasarkan uraian pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah suatu usaha membiasakan diri dengan pelbagai kegiatan yang dapat melapangkan atau membebaskan diri dari pengaruh duniawi, sehingga mencapai suatu akhlak yang baik atau mulia serta dekat dengan Allah maha pencipta. Dengan kata lain Tasawuf dapat dikatakan adalah satu sudut yang mempunyai hubungan dengan pendidikan, pembekalan dan pembinaan mental rohaniah agar selalu tidak jauh dengan Allah.
2.    Tujuan Tasawuf
Tujuan tasawuf  adalah berada sedekat mungkin di sisi Allah dengan mengenalnya secara langsung dan tenggelam dalam ke Maha Esaan-Nya yang mutlak. Dengan kata lain, bahwa sufi yaitu seorang ego pribadinya sudah lebur dalam pelukan keabadian Allah, sehingga semua rahasia yang membatasi dirinya dengan Allah tersingkap atau kasyaf. Dan di sisi lain hakikat tasawuf itu sendiri sama dengan tujuan tasawuf yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia itu tertuang dalam Al-Qur’an dan hadits.
Tasawuf itu diciptakan hanya sebagai media lintasan untuk mencapai maqasid al syar’i (tujuan-tujuan syar’i). Sebagai contoh orang yang diperintahkan naik ke atas atap rumah, maka secara tidak langsung ia juga diperintahkan untuk mencari media yang dapat digunakan untuk melaksanakan tugas itu dengan cara menaiki tangga. Berikut tujuan tasawuf diantaranya adalah:
a.    Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil.
b.    Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit kalbu.
c.    Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
d.   Menggapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
e.    Menstabilkan akidah shuhbah ilahiyah (persahabatan ketuhanan), dalam arti bahwa Allah SWT melihat hamba-hambaNya dari atas arsy dan meliputi mereka dan segala arah dengan ilmu, kekuasaan (qudrat), pendengaran (sama’) dan penglihatan (bashar) Nya.
f.     Menggapai kekuatan iman yang dulu pernah dimiliki para sahabat Rasulullah SAW, menyebarkan ilmu-ilmu syari’at dan meniupkan ruh kehidupannya, sehingga menghasilkan motivasi bagi kaum muslimin untuk dapat memimpin kembali umat, baik ilmiah, pemikiran keagamaan maupun politik. Selain itu mereka juga mampu mengembalikan kepemimpinan global ke pangkuannya, baik peta politik maupun ekonomi serta dapat menyelamatkan bangsa-bangsa yang ada dari alenasi dan kehancuran.[4]
B.  Maqamat
1.    Pengertian Maqamat
Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuan mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt seperti memperbanyak zikir, beramal shalih dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spritualnya, seorang sufi pasti menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan Maqamat/stasiun (jama’ dari maqam).[5]
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak kaki. Dalam ilmu tasawuf maqam berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah menurut apa yang diusahakan berupa riyadhah, ibadah, mujahadah. Sedangkan secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang selalu ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.[6] Sehingga maqamat dapat diartikan sebagai tahapan-tahapan yang selalu ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2.    Maqamat dalam Tasawuf
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah. Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.[7]
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan).[8] Berikut penjelasan tiap maqamat:
a.    Taubat
Secara bahasa arti taubat dalam bahasa Arab adalah “kembali”. “ia bertaubat” berarti “ia kembali”. Jadi taubat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.[9] Kembali disini berarti kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah Swt. dan diajarkan Rasulullah Saw. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.
Al-Ghazali menyatakan, bahwa hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat.[10] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni itu mengandungi tiga unsur: Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya; Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh  dalam bertaubat,  sehingga  tiada  keraguan  dan  menunda-nunda  kesempatan untuk bertaubat; dan Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah Swt dan menginginkan karunia-Nya.[11]
b.    Zuhud
Secara bahasa Zuhud : Zuhd (Arab) darwis; pertapa dalam Islam; orang yang meninggalkan kehidupan duniawi, mempunyai sikap tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan. Amin Syukur menambahkan, zuhud berarti mengasingkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[12] Sedangkan orang yang memiliki sikap zuhud disebut zahid. Al-Ghazali mengatakan, zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akhirat[13]. Sedang menurut, Abu Sulaiman al-Darani dalam Simuh , zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Allah. Al-Junaid menyatakan bahwa zuhud adalah, “bahwa tangan terbebas dari harta dan hati terbebas dari angan-angan”. Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama. Misalnya surat Al-Hadid ayat 20-23:
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.[20] Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.[21] Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.[22] (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira.[23]
c.    Faqr (Fakir)
Ibrahim  ibn  Ahmad Al-Khawwash ra. Berkata, “Kefakiran adalah  jubah dari mereka yang mulia, pakaian dari mereka yang telah diberikan sebuah misi, perhiasan para budiman, mahkota kaum bertakwa, hiasan para Mukmin, rampasan para’arifin, peringatan bagi pencari, benteng bagi para ’abid, dan penjara bagi para pendosa”. Abu Bakar al-Mishri berkata ”Fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu”.
d.   Sabr (Sabar)
Firman Allah swt. dalam QS. Az-Zumar: 10, Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. Al-Ghazali mengatakan, “Sabar berarti bersemayamnya pembangkit ketaatan sebagai ganti pembangkit hawa-nafsu.” Al Junaid berkata bahwa sabar itu, “menanggung beban demi Allah s.w.t. hingga saat-saat sulit tersebut berlalu”. Sedang menurut Sahl At-Tusturi, “sabar berarti menanti kelapangan (jalan keluar, solusi) dari Allah.”
e.    Syukur
Abdul Fattah Sayyid Ahmad dalam bukunya Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, tidak memisahkan antara sabar dan syukur. Bahkan menurut beliau, sabar dan syukur adalah dua buah kata yang digunakan untuk menyebut satu makna. Menguatnya motivasi agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang dorongan syahwat, disebut ’sabar’. Menguatnya dorongan agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang motivasi agama, disebut ’syukur’. Al-Junaid mengatakan “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima nikmat
f.     Tawakal
Kata’tawakal’ diambil dari akar kata ‘wakalah’. “Dia mewakilkan urusannya kepada si fulan”. Kata ‘mewakilkan’ disini berarti ‘menyerahkan’ atau ’mempercayakan’. Tawakal berarti menggantungkan hati hanya kepada ’al wakil’ (tumpuan perwakilan) . Abu Bakar Al-Zaqaq berkata, ketika ditanya tentang tawakal, “hidup untuk satu hari menenangkan kepedulian akan hari esok”. Ruwaim mengatakan, tawakal adalah percaya akan janji. Dan Sahl ibn ’Abdullah berkata bahwa tawakal itu, “Menyerahkan diri kepada Allah dalam urusan apa pun yang Allah kehendaki”.
g.    Ridha (Rela)
Ridha berarti penerimaan, tetapi ia juga berarti kualitas kepuasan dengan sesuatu atau seseorang. Ridha digambarkan sebagai “keteguhan di hadapan qadha”. Allah s.w.t. menyebutkan ridha dalam kitab-Nya, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya, dalam Surat Al-Maidah ayat 119 Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya[14]. Itulah keberuntungan yang paling besar”.
Dan keridhaan Allah adalah lebih besar dalam Surat At-Taubah ayat 72:
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.
h.    Makrifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman. Dikalangan sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah SWT, melalui nama-nama serta sifatNya dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan muamalatnya, kemudian meenyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, yang terpaku lama di pintu (rohani) dan yang senantiasa I’tikaf dalam hatinya.[15]
i.      Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh  dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun.[16]
C.  Ahwal
1.    Pengertian Ahwal
Ahwal berarti keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Menurut Al-Thusi, keadaaan (hal) tidak termasuk usaha latihan-latihan rohaniyah. Dan para sufi menegaskan perbedaan maqam dan hal. Maqam ditandai dengan kemapanan sedangkan hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh seseorang tanpa sengaja. Istilah kompleksnya, bahwa hal sama dengan bakat, sementara maqam diperoleh dengan daya dan upaya.[17]
Adapun makna ahwal merupakan bentuk jamak dari hal, ialah sesuatu dari kejernihan dzikir yang bertempat dalam hati, atau hati berada dalam kejernihan dzikir tersebut. Menurut pemakalah adalah kejadian sesuatu secara mendadak terjadi yang bertempat pada hati nurani manusia dan tidak bisa lama (tidak abadi/berkekalan). Kemudian ada pemahaman yang menyebutkan bahwa hal ialah dzikir secara samar (khafi).
Menurut ahli sufi, ahwal jamak dari hal  yaitu situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Datangnya dengan kondisi yang tidak menentu, terkadang ia pergi begitu cepat (lawaih) ada pula yang datang dan pergi dalam tempo yang lam (bawadih). Al-Qusyairi mengatakan ahwal itu selalu bergerak naik setingkat demi setingkat hingga sampai ke titik kulminasi, yaitu puncak kesempurnaan.[18]
Ahwal pada dasarnya merupakan manifestasi dari maqam yang sudah mereka lalui, dimana kondisi mental yang mereka rasakan berasal atau hasil dari amalan yang telah mereka lakukan. Hanya saja orang sufi selalu berhati-hati dan berserah diri kepada Allah, maka orang yang ingin mendapatkannya harus selalu meningkatkan kualitas amalannya.
2.    Ahwal dalam Tasawuf
Ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Dari segi bahasa, ahwal berarti sifat atau keadaan sesuatu. Ahwal diterangkan sebagai penberian yang tercurah kepada seseorang dari tuhannya, baik sebagi buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa maupun datang dari tuhan sebagai pemberian semata.  Syaikh Abu Nashar As Saraj berpendapat bahwa hal ialah keadaan yang meliputi hati seseorang atau perasaan yang terkandung di dalamnya. Atau hal artinya keadaan suasana batiniah,yang bergantung bukan pada sang sufi melainkan kepada Tuhan. Menurut sufi al-ahwal jamak dari al-hal dalam bahasa inggris disebut state adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Sedangkan menurut al- Qusyairi al-hal selalu bergerak setahap demi setahap ke tingkat puncak kesempurnaan rohani.[19]
Hal-hal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta  (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin. Penjelasannya sebagai berikut:
a.    Waspada dan mawas diri (Muhasabah dan Muraqabah)
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah. Waspada (muhasabah) dapat diartikan menyakini bahwa Allah SWT. Mengetahui segala pikiran, perbuatan, rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah SWT. Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.
b.    Cinta (hubb)
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal ,sama seperti tobat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam.Karena mahabbah pada dasarnya adalah kecendrungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. Berkenaan dengan mahabbah, Suhrawardi mengatakan, “sesungguhnya mahabbah(cinta) adalah mata rantai keselarasan yang mengikat sang pencipta kepada kekasihnya.” Ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pencipta kepadanya, dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya, kemudian menangkap zatnya dalam genggam qudrat (Allah).
c.    Berharap dan takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan sufi ,raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’berarti berharap atau optimism. Raja’ atau optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimism ini telah ditegaskan dalam Al-qur’an, surat Al-Baqarah:218 : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Raja’ menuntut 3 perkara yaitu:
1)      Cinta pada apa yang diharapkannya
2)      Takut harapannya hilang
3)      Berusaha untuk mencapainya
Raja’ yang tidak dibarengi dengan 3 perkara itu hanyalah ilusi atau khayalan. Setiap orang yang berharap adalah orang yang khauf. Orang yang berharap untuk sampai disuatu tempat tepat pada waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula ,orang yang mengharap ridha atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaa Tuhan. Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah SWT.untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal supaya dengan keduanya ,mereka dapat dekat kepada Allah SWT. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa dirinya pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga sebaliknya, terlalu besar sikap raja akan membuat seseorang sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena optimisnya yang berlebihan.
d.   Rindu (syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yaitu rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah SWT. Lebih berbahaya daripada maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan,mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan.
e.    Intim (uns)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Adapula orang yang merasa bising dalam kesepian .Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semat.” Adapun engkau, selalu merasa berteman dimanapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah SWT artinya, engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah SWT. Ungkapan ini melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan Tuhannya. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.[20]

PENUTUP
A.  Kesimpulan
Tasawuf adalah suatu usaha membiasakan diri dengan pelbagai kegiatan yang dapat melapangkan atau membebaskan diri dari pengaruh duniawi, sehingga mencapai suatu akhlak yang baik atau mulia serta dekat dengan Allah. Tujuan tasawuf adalah agar bisa mendekati Allah dengan cara-cara yang dituntun oleh Al-qur’an dan hadits.
Untuk mencapai tujuan tasawuf maka diperlukan tahapan-tahan dan hal-hal tertentu, yakni maqamat dan ahwal. Berikut maqamat dalam tasawuf diantaranya: Taubat, zuhud, fakir, sabar, syukur, tawakal, ridha, ma’rifat, dan mahabbah. Kemudian ada ahwal dalam tasawuf diantaranya: Waspada dan mawas diri, cinta, berharap dan takut, rindu, dan intim.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan dan Solihin, Mukhtar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV.Pustaka Setia. 2000.
Hakiem, M. Luqman. Risalatul Qusyairiyah “Induk Ilmu Tasawuf”. Risalah Gusti: Surabaya. 1999
Ibrahim, Muhammad Zaki. Tasawuf Salafi. Jakarta: Penerbit Hikmah, 2002.
Isa, Abdul Qadir, Hakikat Tasawuf. Jakarta: Qisthi Press, 2006.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Rajawali Pers. Jakarta. 2011.
Ni’am, Syamsun. Cinta Ilahi: Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Surabaya: Risalah Gusti. 2001.
Noer, Kautsar Azhari. Tasawuf Perenial; Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Riva’i A. Siregar. Tasawwuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta: Rajawali Press. 2001.
Sayyid Nur Bin Sayyid Ali. Tasawuf Syar’i, Hikmah: Jakarta. 2003.
Sholihin, Muhammad. Tasawuf Tematik. Pustaka Setia. Bandung. 2003.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. IAIN SA Press. Surabaya. 2011.





[1] Muhammad Zaki Ibrahim. Tasawuf Salafi. Jakarta: Penerbit Hikmah, 2002. hal.5.
[2] Isa Abdul Qadir, Hakikat Tasawuf , Jakarta: Qisthi Press, 2006. hal. 5.
[3] Kautsar Azhari Noer. Tasawuf Perenial; Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta, 2003.hal.19.
[4] Sayyid Nur Bin Sayyid Ali. Tasawuf Syar’i, Hikmah: Jakarta. 2003. hal.17.
[5] Syamsun  Ni’am. Cinta Ilahi: Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Surabaya: Risalah Gusti. 2001. hal.51.
[6] M. Sholihin. Tasawuf Tematik. Pustaka Setia. Bandung. 2003. hal. 13.
[7] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. Rajawali Pers:Jakarta, 2011. hal. 193.
[8] Ibid. hal. 194.
[9] M. Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah “Induk Ilmu Tasawuf”. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. hal.79.
[10] Abdul Fattah Sayyid Ahmad.Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Khalifa, 2000. hal. 117
[11] Abdul Fattah Sayyid Ahmad.Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Khalifa, 2000. hal. 117
[12] Amin Syukur. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.hal. 1.
[13] Abdul Fattah Sayyid Ahmad.Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Khalifa, 2000. hal. 117.
[14] Maksudnya: Allah meridhai segala perbuatan-perbuatan mereka, dan merekapun merasa puas terhadap nikmat yang telah dicurahkan Allah kepada mereka.
[15] M. Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah “Induk Ilmu Tasawuf”. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. hal.79.
[16] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf, IAIN SA Press. Surabaya. 2011. hal. 257-258.
[17] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV.Pustaka Setia. 2000. hal.77.
[18] Al-Nasyaburi al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah fi Ilm at-Tasawuf,(Mesir, Dar al-Kahair, tt) hal. 115.
[19] Riva’i A. Siregar. Tasawwuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta: Rajawali Press. 2001. hal. 131.

[20] Rosihan Anwar. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2010. hal. 201.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar