PEMIKIRAN ISLAM

Novia
Nur Fadhila
I.
PENDAHULUAN
Tasawuf
merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Tasawuf merupakan salah satu disiplin ilmu
yang lebih memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia,
sehingga dapat dikatakan tasawuf lebih menekankan kepada kehidupan akhirat
dibandingkan dengan kehidupan di dunia. Esensi tasawuf sebenarnya telah
ada sejak masa kehidupan Rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keIslaman
adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keIslaman lainnya seperti
fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang
dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Tinjauan
analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran
yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju
Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu
secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada
Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak
dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui
amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk
menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah
untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi
sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan
menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah)
yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai
penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah
orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam
antara iman secara aqliyah atau
logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman
Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani
tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui
proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan
atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus
dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan. Namun perlu dicatat, maqam dan
hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata
uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi
prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal.
Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang
untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Untuk itu penulis akan membahas
tentang maqam dan ahwal dalam tasawuf.
II.
PEMBAHASAN
A. Tasawuf
1.
Pengertian
Tasawuf
Tasawuf secara linguistic (kebahasaan) dapat dipahamai bahwa tasawuf
merupakan sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup
sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap
jiwa yang seperti itu pada hakikatnya adalah moral-moral yang berazaskan Islam.
Tasawuf adalah
usaha membangun manusia dalam hal tutur kata, perbuatan, serta gerak hati, baik
dalam skala kecil, yaitu pribadi atau dalam skala yang lebih besar, dengan
menjadikan hubungan kepada Allah Swt sebagai bagi semua itu.[1]
Kemudian menurut ‘Abdul Qadir Isa tasawuf adalah
penjernihan hati dari kotoran materi, dan pondasinya adalah hubungan manusia
dengan sang pencipta yang Agung.[2]
Tasawuf yang ideal adalah tasawuf mistis. Tasawuf sebagai jalan spritual
menuju Allah, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, berintikan akhlak
mulia, mendekatkan manusia pada Allah, tetap setia pada syari’at, menekankan
keseimbangan antara aspek-aspek lahiriah dan batiniah, material dan spiritual,
duniawi dan ukhrawi, berpihak kepada orang-orang lemah dan tertindas.[3]
Berdasarkan uraian pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah
suatu usaha membiasakan diri dengan pelbagai kegiatan yang dapat melapangkan
atau membebaskan diri dari pengaruh duniawi, sehingga mencapai suatu akhlak
yang baik atau mulia serta dekat dengan Allah maha pencipta. Dengan kata lain
Tasawuf dapat dikatakan adalah satu sudut yang mempunyai hubungan dengan
pendidikan, pembekalan dan pembinaan mental rohaniah agar selalu tidak jauh
dengan Allah.
2.
Tujuan Tasawuf
Tujuan
tasawuf adalah berada sedekat mungkin di
sisi Allah dengan mengenalnya secara langsung dan tenggelam dalam ke Maha
Esaan-Nya yang mutlak. Dengan kata lain, bahwa sufi yaitu seorang ego
pribadinya sudah lebur dalam pelukan keabadian Allah, sehingga semua rahasia
yang membatasi dirinya dengan Allah tersingkap atau kasyaf. Dan di sisi lain
hakikat tasawuf itu sendiri sama dengan tujuan tasawuf yaitu mendekatkan diri
kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia.
Dekatnya Tuhan kepada manusia itu tertuang dalam Al-Qur’an dan hadits.
Tasawuf itu
diciptakan hanya sebagai media lintasan untuk mencapai maqasid al syar’i
(tujuan-tujuan syar’i). Sebagai contoh orang yang diperintahkan naik ke atas
atap rumah, maka secara tidak langsung ia juga diperintahkan untuk mencari
media yang dapat digunakan untuk melaksanakan tugas itu dengan cara menaiki
tangga. Berikut tujuan tasawuf diantaranya adalah:
a.
Berupaya menyelamatkan diri dari
akidah-akidah syirik dan batil.
b.
Melepaskan diri (takhalli) dari
penyakit kalbu.
c.
Menghiasi diri (tahalli) dengan
akhlak Islam yang mulia.
d.
Menggapai derajat ihsan dalam
ibadah (tajalli).
e.
Menstabilkan akidah shuhbah
ilahiyah (persahabatan ketuhanan), dalam arti bahwa Allah SWT melihat
hamba-hambaNya dari atas arsy dan meliputi mereka dan segala arah dengan ilmu,
kekuasaan (qudrat), pendengaran (sama’) dan penglihatan (bashar) Nya.
f.
Menggapai kekuatan iman yang dulu
pernah dimiliki para sahabat Rasulullah SAW, menyebarkan ilmu-ilmu syari’at dan
meniupkan ruh kehidupannya, sehingga menghasilkan motivasi bagi kaum muslimin
untuk dapat memimpin kembali umat, baik ilmiah, pemikiran keagamaan maupun
politik. Selain itu mereka juga mampu mengembalikan kepemimpinan global ke
pangkuannya, baik peta politik maupun ekonomi serta dapat menyelamatkan
bangsa-bangsa yang ada dari alenasi dan kehancuran.[4]
B.
Maqamat
1.
Pengertian
Maqamat
Banyak jalan
dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuan mereka
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt seperti memperbanyak zikir, beramal
shalih dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spritualnya, seorang
sufi pasti menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan
Maqamat/stasiun (jama’ dari maqam).[5]
Maqamat
merupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak
dua telapak kaki. Dalam ilmu tasawuf maqam berarti kedudukan hamba dalam
pandangan Allah menurut apa yang diusahakan berupa riyadhah, ibadah, mujahadah.
Sedangkan secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat
orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan panjang yang selalu ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat
kepada Allah.[6]
Sehingga maqamat dapat diartikan sebagai tahapan-tahapan yang selalu ditempuh
oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2.
Maqamat dalam
Tasawuf
Tentang berapa
jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai
menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai
dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada
sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa,
al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah. Sementara itu Abu Nasr
al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh,
yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Dalam
pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa
maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud,
al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.[7]
Kutipan
tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,
namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.
Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan
al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan
terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud
rohaniah dengan Tuhan).[8] Berikut
penjelasan tiap maqamat:
a.
Taubat
Secara bahasa
arti taubat dalam bahasa Arab adalah “kembali”. “ia bertaubat” berarti “ia
kembali”. Jadi taubat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’
menuju sesuatu yang dipuji olehnya.[9] Kembali
disini berarti kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah Swt. dan
diajarkan Rasulullah Saw. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan
meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.
Al-Ghazali
menyatakan, bahwa hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat,
kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat.[10] Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni itu mengandungi
tiga unsur: Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak
ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya; Kedua : membulatkan tekad dan
bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga
tiada keraguan dan
menunda-nunda kesempatan untuk
bertaubat; dan Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang
dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah Swt dan menginginkan
karunia-Nya.[11]
b.
Zuhud
Secara bahasa
Zuhud : Zuhd (Arab) darwis; pertapa dalam Islam; orang yang meninggalkan
kehidupan duniawi, mempunyai sikap tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan. Amin
Syukur menambahkan, zuhud berarti mengasingkan diri dari kesenangan dunia untuk
ibadah.[12]
Sedangkan orang yang memiliki sikap zuhud disebut zahid. Al-Ghazali mengatakan,
zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akhirat[13].
Sedang menurut, Abu Sulaiman al-Darani dalam Simuh , zuhud adalah meninggalkan
segala yang melalaikan hati dari Allah. Al-Junaid menyatakan bahwa zuhud
adalah, “bahwa tangan terbebas dari harta dan hati terbebas dari angan-angan”.
Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama.
Misalnya surat Al-Hadid ayat 20-23:
Ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah
antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu
menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.
dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.[20] Berlomba-lombalah
kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas
langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.[21] Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.[22] (kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira.[23]
c.
Faqr (Fakir)
Ibrahim ibn
Ahmad Al-Khawwash ra. Berkata, “Kefakiran adalah jubah dari mereka yang mulia, pakaian dari
mereka yang telah diberikan sebuah misi, perhiasan para budiman, mahkota kaum
bertakwa, hiasan para Mukmin, rampasan para’arifin, peringatan bagi pencari,
benteng bagi para ’abid, dan penjara bagi para pendosa”. Abu Bakar al-Mishri
berkata ”Fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga
tidak menginginkan sesuatu”.
d.
Sabr (Sabar)
Firman Allah
swt. dalam QS. Az-Zumar: 10, Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah
Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. Al-Ghazali mengatakan, “Sabar
berarti bersemayamnya pembangkit ketaatan sebagai ganti pembangkit hawa-nafsu.”
Al Junaid berkata bahwa sabar itu, “menanggung beban demi Allah s.w.t. hingga
saat-saat sulit tersebut berlalu”. Sedang menurut Sahl At-Tusturi, “sabar
berarti menanti kelapangan (jalan keluar, solusi) dari Allah.”
e.
Syukur
Abdul Fattah
Sayyid Ahmad dalam bukunya Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, tidak
memisahkan antara sabar dan syukur. Bahkan menurut beliau, sabar dan syukur
adalah dua buah kata yang digunakan untuk menyebut satu makna. Menguatnya
motivasi agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang
dorongan syahwat, disebut ’sabar’. Menguatnya dorongan agama dalam melawan
motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang motivasi agama, disebut
’syukur’. Al-Junaid mengatakan “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang
dirimu layak menerima nikmat
f.
Tawakal
Kata’tawakal’
diambil dari akar kata ‘wakalah’. “Dia mewakilkan urusannya kepada si fulan”.
Kata ‘mewakilkan’ disini berarti ‘menyerahkan’ atau ’mempercayakan’. Tawakal
berarti menggantungkan hati hanya kepada ’al wakil’ (tumpuan perwakilan) . Abu
Bakar Al-Zaqaq berkata, ketika ditanya tentang tawakal, “hidup untuk satu hari
menenangkan kepedulian akan hari esok”. Ruwaim mengatakan, tawakal adalah
percaya akan janji. Dan Sahl ibn ’Abdullah berkata bahwa tawakal itu,
“Menyerahkan diri kepada Allah dalam urusan apa pun yang Allah kehendaki”.
g.
Ridha (Rela)
Ridha berarti
penerimaan, tetapi ia juga berarti kualitas kepuasan dengan sesuatu atau
seseorang. Ridha digambarkan sebagai “keteguhan di hadapan qadha”. Allah s.w.t.
menyebutkan ridha dalam kitab-Nya, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun
ridha terhadap-Nya, dalam Surat Al-Maidah ayat 119 Allah berfirman: “Ini
adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.
bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya[14].
Itulah keberuntungan yang paling besar”.
Dan keridhaan
Allah adalah lebih besar dalam Surat At-Taubah ayat 72:
Allah
menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat)
surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan
(mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah
lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.
h.
Makrifat
Ma’rifat
berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau
pengalaman. Dikalangan sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal
Allah SWT, melalui nama-nama serta sifatNya dan berlaku tulus kepada Allah SWT
dengan muamalatnya, kemudian meenyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah
dan cacat, yang terpaku lama di pintu (rohani) dan yang senantiasa I’tikaf
dalam hatinya.[15]
i.
Mahabbah
Mahabbah
berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara
mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk
mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam
kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah
peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi
kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang
tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun.[16]
C.
Ahwal
1.
Pengertian
Ahwal
Ahwal berarti
keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Menurut
Al-Thusi, keadaaan (hal) tidak termasuk usaha latihan-latihan rohaniyah.
Dan para sufi menegaskan perbedaan maqam dan hal. Maqam ditandai dengan
kemapanan sedangkan hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai
seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh
seseorang tanpa sengaja. Istilah kompleksnya, bahwa hal sama dengan
bakat, sementara maqam diperoleh dengan daya dan upaya.[17]
Adapun makna ahwal merupakan bentuk jamak dari hal, ialah sesuatu dari
kejernihan dzikir yang bertempat dalam hati, atau hati berada dalam kejernihan
dzikir tersebut. Menurut pemakalah adalah kejadian sesuatu secara mendadak
terjadi yang bertempat pada hati nurani manusia dan tidak bisa lama (tidak
abadi/berkekalan). Kemudian ada pemahaman yang menyebutkan bahwa hal ialah
dzikir secara samar (khafi).
Menurut ahli sufi, ahwal jamak dari hal yaitu situasi kejiwaan yang diperoleh
seseorang sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Datangnya dengan
kondisi yang tidak menentu, terkadang ia pergi begitu cepat (lawaih) ada
pula yang datang dan pergi dalam tempo yang lam (bawadih). Al-Qusyairi
mengatakan ahwal itu selalu bergerak naik setingkat demi setingkat hingga
sampai ke titik kulminasi, yaitu puncak kesempurnaan.[18]
Ahwal pada dasarnya merupakan manifestasi dari maqam yang sudah
mereka lalui, dimana kondisi mental yang mereka rasakan berasal atau hasil dari
amalan yang telah mereka lakukan. Hanya saja orang sufi selalu berhati-hati dan
berserah diri kepada Allah, maka orang yang ingin mendapatkannya harus selalu
meningkatkan kualitas amalannya.
2.
Ahwal dalam
Tasawuf
Ahwal
merupakan bentuk jamak dari hal. Dari segi bahasa, ahwal berarti sifat
atau keadaan sesuatu. Ahwal diterangkan sebagai penberian yang tercurah kepada
seseorang dari tuhannya, baik sebagi buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa
maupun datang dari tuhan sebagai pemberian semata. Syaikh Abu Nashar As Saraj berpendapat bahwa hal
ialah keadaan yang meliputi hati seseorang atau perasaan yang terkandung di
dalamnya. Atau hal artinya keadaan suasana batiniah,yang bergantung
bukan pada sang sufi melainkan kepada Tuhan. Menurut sufi al-ahwal jamak dari
al-hal dalam bahasa inggris disebut state adalah situasi kejiwaan yang
diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya.
Sedangkan menurut al- Qusyairi al-hal selalu bergerak setahap demi setahap ke tingkat
puncak kesempurnaan rohani.[19]
Hal-hal yang
sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan mawas diri
(muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu
(syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah), dan
yakin. Penjelasannya sebagai berikut:
a.
Waspada dan mawas diri (Muhasabah
dan Muraqabah)
Waspada dan
mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada
sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua
sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa
kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah. Waspada (muhasabah) dapat diartikan
menyakini bahwa Allah SWT. Mengetahui segala pikiran, perbuatan, rahasia dalam
hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah
SWT. Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala
perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang
dikehendaki-Nya.
b.
Cinta (hubb)
Dalam
pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan
hal ,sama seperti tobat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam.Karena mahabbah
pada dasarnya adalah kecendrungan hati untuk memperhatikan keindahan atau
kecantikan. Berkenaan dengan mahabbah, Suhrawardi mengatakan, “sesungguhnya
mahabbah(cinta) adalah mata rantai keselarasan yang mengikat sang pencipta
kepada kekasihnya.” Ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pencipta
kepadanya, dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga ia menguasai seluruh
sifat dalam dirinya, kemudian menangkap zatnya dalam genggam qudrat (Allah).
c.
Berharap dan takut (Raja’ dan
Khauf)
Bagi kalangan
sufi ,raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’berarti
berharap atau optimism. Raja’ atau optimisme adalah perasaan hati yang senang
karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimism ini
telah ditegaskan dalam Al-qur’an, surat Al-Baqarah:218 : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah
dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Raja’ menuntut
3 perkara yaitu:
1)
Cinta pada apa yang diharapkannya
2)
Takut harapannya hilang
3)
Berusaha untuk mencapainya
Raja’ yang
tidak dibarengi dengan 3 perkara itu hanyalah ilusi atau khayalan. Setiap orang
yang berharap adalah orang yang khauf. Orang yang berharap untuk sampai disuatu
tempat tepat pada waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena takut terlambat, ia
mempercepat jalannya. Begitu pula ,orang yang mengharap ridha atau ampunan
Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaa Tuhan. Ahmad Faridh
menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah SWT.untuk
menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal supaya dengan keduanya ,mereka
dapat dekat kepada Allah SWT. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan
sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa dirinya pada masa yang akan datang. Khauf
dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada
dalam ketaatan.
Kekurangan
khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan
khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga
sebaliknya, terlalu besar sikap raja akan membuat seseorang sombong dan
meremehkan amalan-amalannya karena optimisnya yang berlebihan.
d.
Rindu (syauq)
Selama masih
ada cinta, syauq tetap diperlukan dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan
subur, yaitu rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan
bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah SWT. Lebih
berbahaya daripada maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan,mati dapat berarti
bertemu dengan Tuhan.
e.
Intim (uns)
Dalam
pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak
pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns: “Ada orang yang
merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya
sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Adapula
orang yang merasa bising dalam kesepian .Ia adalah orang yang selalu memikirkan
atau merencanakan tugas pekerjaannya semat.” Adapun engkau, selalu merasa
berteman dimanapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah SWT
artinya, engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah SWT. Ungkapan ini
melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan Tuhannya. Sikap
keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.[20]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf adalah suatu
usaha membiasakan diri dengan pelbagai kegiatan yang dapat melapangkan atau
membebaskan diri dari pengaruh duniawi, sehingga mencapai suatu akhlak yang
baik atau mulia serta dekat dengan Allah. Tujuan tasawuf adalah agar bisa
mendekati Allah dengan cara-cara yang dituntun oleh Al-qur’an dan hadits.
Untuk mencapai tujuan
tasawuf maka diperlukan tahapan-tahan dan hal-hal tertentu, yakni maqamat dan
ahwal. Berikut maqamat dalam tasawuf diantaranya: Taubat, zuhud,
fakir, sabar, syukur, tawakal, ridha, ma’rifat, dan mahabbah. Kemudian ada ahwal
dalam tasawuf diantaranya: Waspada dan mawas diri, cinta, berharap dan takut,
rindu, dan intim.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan
dan Solihin, Mukhtar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV.Pustaka Setia. 2000.
Hakiem, M.
Luqman. Risalatul Qusyairiyah “Induk Ilmu Tasawuf”. Risalah Gusti:
Surabaya. 1999
Ibrahim,
Muhammad Zaki. Tasawuf Salafi. Jakarta: Penerbit Hikmah, 2002.
Isa, Abdul
Qadir, Hakikat Tasawuf. Jakarta:
Qisthi Press, 2006.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf.
Rajawali Pers. Jakarta. 2011.
Ni’am,
Syamsun. Cinta Ilahi: Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi,
Surabaya: Risalah Gusti. 2001.
Noer, Kautsar
Azhari. Tasawuf Perenial; Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta: Penerbit
Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Riva’i A.
Siregar. Tasawwuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta: Rajawali
Press. 2001.
Sayyid Nur Bin
Sayyid Ali. Tasawuf Syar’i, Hikmah: Jakarta. 2003.
Sholihin,
Muhammad. Tasawuf Tematik. Pustaka Setia. Bandung. 2003.
Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. IAIN SA Press. Surabaya. 2011.
[1] Muhammad Zaki Ibrahim. Tasawuf Salafi.
Jakarta: Penerbit Hikmah, 2002. hal.5.
[2] Isa Abdul Qadir, Hakikat Tasawuf , Jakarta: Qisthi Press, 2006. hal. 5.
[3] Kautsar Azhari Noer. Tasawuf Perenial;
Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta,
2003.hal.19.
[4] Sayyid Nur Bin Sayyid Ali. Tasawuf Syar’i,
Hikmah: Jakarta. 2003. hal.17.
[5] Syamsun Ni’am. Cinta Ilahi: Perspektif Rabi’ah
al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Surabaya: Risalah Gusti. 2001. hal.51.
[6] M. Sholihin. Tasawuf Tematik.
Pustaka Setia. Bandung. 2003. hal. 13.
[7] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf.
Rajawali Pers:Jakarta, 2011. hal. 193.
[8] Ibid. hal. 194.
[9] M. Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah
“Induk Ilmu Tasawuf”. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. hal.79.
[10]
Abdul Fattah Sayyid Ahmad.Tasawuf: antara
Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Khalifa, 2000. hal. 117
[11]
Abdul Fattah Sayyid Ahmad.Tasawuf: antara
Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Khalifa, 2000. hal. 117
[12] Amin Syukur. Zuhud di Abad
Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.hal. 1.
[13] Abdul Fattah Sayyid Ahmad.Tasawuf:
antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Khalifa, 2000. hal. 117.
[14] Maksudnya: Allah meridhai segala
perbuatan-perbuatan mereka, dan merekapun merasa puas terhadap nikmat yang
telah dicurahkan Allah kepada mereka.
[15]
M. Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah “Induk
Ilmu Tasawuf”. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. hal.79.
[16] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak
Tasawuf, IAIN SA Press. Surabaya. 2011. hal. 257-258.
[17] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin.
Ilmu Tasawuf. Bandung: CV.Pustaka Setia. 2000. hal.77.
[18] Al-Nasyaburi al-Qusyairi, al-Risalah
al-Qusyairiyah fi Ilm at-Tasawuf,(Mesir, Dar al-Kahair, tt) hal. 115.
[19]
Riva’i A. Siregar. Tasawwuf Dari Sufisme
Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta: Rajawali Press. 2001. hal. 131.
[20] Rosihan
Anwar. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2010. hal. 201.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar