Rabu, 25 November 2015

KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS HADITS



KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS HADITS

Novia Nur Fadhila

PENDAHULUAN

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi berkurang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan. Diantaranya pembagian hadits berdasarkan kualitas dan kuantitas sanad dan matan hadits.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hanya akan membahas pembagian hadits dari segi kualitas hadits saja, yaiitu:
Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dha’if.

PEMBAHASAN

Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan dibagi menjadi tiga, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Kualitas sanad hadits akan mempengaruhi terhadap pengamalan hadits tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu diperlukan pemahaman dari masing-masing klasifikasi hadits.

A.  Hadits Shahih

1.    Pengertian Hadits Shahih

Menurut bahasa, shahih berasal dari kata shahha yashihhu shuhhan wa shihhatan wa shahahan, yang berarti sehat, selamat, benar, sah, dan sempurna.[1] Maka secara bahasa hadits shahih berarti hadits yang benar, hadits yang sah atau hadits yang sempurna.
Menurut istilah, hadits shahih adalah satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan hafalan yang sempurna (dhabith), serta tidak ada penyelisihan dengan periwayat yang lebih terpercaya darinya (syadz) dan tidak ada ‘illat yang berat.[2]

2.    Syarat Hadits Shahih

Berdasarkan pengertian hadits shahih di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah: 1) sanadnya bersambung, 2) para periwayat bersifat adil, 3) para periwayat bersifat dhabith, 4) sanad dan matannya terhindar dari syadz dan 5) sanad dan matannya terhindar dari ’illat.
a.    Sanadnya bersambung
Maksud dari sanadnya bersambung adalah bahwa tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat; dankeadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.[3] Artinya, seluruh rangkaian para periwayat hadits, sejak periwayat terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadits langsung dari Nabi Muhammad saw. bersambung dalam periwayatannya.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
1)   Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti,
2)   Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat,
3)   Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddatsani, haddatsana, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya.[4]
b.    Periwayat Bersifat ‘Adil
Kata ‘adil yang telah menjadi serapan bahasa Indonesia, menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak dzalim, tidak menyimpang, tulus, dan jujur.[5] Dengan demikian, periwayat yang adil adalah periwayat yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)   Beragama Islam, yaitu seorang periwayat hadits harus beragama Islam, orang fasik atau orang kafir tidak dapat diterima periwayatannya.
2)   Berstatus Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal.
3)   Melaksanakan ketentuan agama Islam dan meninggalkan larangannya.
4)   Memelihara muru’ah, yaitu memilki rasa malu, atau dapat berarti memelihara kehormatan dirinya.[6]
c.    Periwayat Bersifat Dhabith
Dhabith berarti memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna.[7] Periwayat harus memahami dengan baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki. Sehingga dhabith juga berarti seseorang yang mampu memelihara hadits yang ada dalam catatannya dari kekeliruan, atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan dan sebagainya.[8] Gabungan dari sifat ‘adil dan dhabith disebut tsiqah.[9]
Dhabith terbagi menjadi dua macam: dhabith shadr dan dhabith kitab. Dhabith shadr adalah jika seorang periwayat benar-benar hafal hadits yang telah didengarnya dalam dadanya, dan mempu mengungkapkan kapan saja. Dhabith kitab adalah jika seorang periwayat “menjaga” hadits yang telah didengarnya dalam bentuk tulisan.[10]
d.   Sanad dan matannya terhindar dari syadz
Maksud dari syadz di sini adalah suatu hadits yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh periwayat lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.[11] Berdasarkan pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa hadits yang tidak syadz adalah hadits yang matannya tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.
e.    Sanad dan matannya terhindar dari ’illat.
Secara etimologis, term ‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal) berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan.[12] Dengan makna ini, maka disebut hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang ada cacat atau penyakitnya. Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang  merusakkan kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.[13] Dengan demikian, maka yang dimaksud hadits yang tidak ber’illat, adalah hadits-hadits yang didalamnya tidak terdapat kecacatan, kesamaran atau keragu-raguan.
3.    Macam-macam Hadits Shahih
Para ulama ahli hadits membagi hadits shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li dhatihi dan shahih li gharihihi.[14]Perbedaan keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada shahih li dzatihi, ingatan perawinya sempurna, sedang pada hadits shahih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna.
a.    Hadits Shahih li Dzatihi
Hadits shahih li dzatihi, ialah hadits yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria keshahihan sebagaimana disebutkan, dan tidak memerlukan penguat dari yang lainnya. Ini berarti bahwa hadits shahih  li dzatihi, adalah hadits sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian shahih di atas. Contoh :
لولا أن أشق على أمتى أو على الناس لأمرتهم باسواك مع كل صلاة (رواه البخارى)

“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan salat.”(HR. Bukhari).
Hadits ini diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah.
b.    Hadits Shahih li Ghairihi,
Hadits shahih li ghairihi, adalah hadits hasan li dzatihi apabila diriwayatkan melalui jalan yang lain oleh perawi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.[15] Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa sebenarnya hadits tipe ini asalnya bukan hadits shahih, melainkan hadits hasan li dzatih. Karena adanya syahid atau mutabi’ yang menguatkannya, maka hadits hasan li dzatih ini berubah kedudukan menjadi shahih li gharihi, yakni hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya matan atau sanad yang lainnya. Contoh :
سنن الترمذى - (ج 1 / ص 41)
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
Hadits riwayat Imam Tirmidzi melalui jalur Muhammad ibn ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melakukan shalat.”

4.    Kehujahan Hadits Shahih

Para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.[16]
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i yaitu al-Qur’an dan hadits mutawatir. Oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah. Sedang sebagian ulama lainnya dan ibn Hazm al-Dhahiri menetapkan bahwa hadits shahih memfaedahkan ilmu qat’i dan wajib diyakini. Dengan demikian shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.[17]

5.    Tingkatan Hadits Shahih

Hadits shahih memiliki tingkatan martabat. Tinggi rendahnya martabat suatu hadits shahih tergantung pada tingkat ke-dhabith-an dan ke-‘adil-an para periwayat hadits.[18] Semakin tinggi tingkat tingkat ke-dhabith-an dan ke-‘adil-an para periwayat, maka semakin tinggi tingkatan hadits yang diriwayatkan. Para ulama hadits membagi tingkatan hadits shahih menjadi tiga[19], yaitu:
a.    Ashah a- sanid
Ashah al-sanid yaitu rangkaian yang paling tinggi derajatnya, seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ Maula (budak yang telah dimerdekakan dan Ibnu Umar)
b.    Ahsan al-sanid
Ahsan al-sanid yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya di bawah dari Ashah al-sanid. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
c.    Ad’af al-sanid
Ad’af al-sanid yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya di bawah dari Ahsan al-sanid. Seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Berdasarkan tiga pembagian tingkatan hadits shahih di atas, kemudian para ulama hadits membagi tingkatan hadits menjadi tujuh tingkatan[20]:
1)   Hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaq ‘alaih),
2)   Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari saja,
3)   Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim saja,
4)   Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim,
5)   Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang memenuhi persyaratan Bukhari saja,
6)   Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang memenuhi persyaratan Muslim saja,
7)   Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Bukhari dan Muslim, dan tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain lain.

6.    Kitab yang memuat Hadits Shahih

Kitab-kitab hadits yang memuat hadits shahih secara berurutan[21] adalah:
a.    Shahih Al-Bukhari,
b.    Shahih Muslim
c.    Shahih Ibnu Khuzaimah
d.   Shahih Ibnu Hiban
e.    Mustadrok Al-Hakim
f.     Shahih Ibn As-Sakan
g.    Shahih Al-Abani

B.  Hadits Hasan

1.    Pengertian Hadits Hasan

Kata hasan berasal dari kata hasuna yahsunu yang menurut bahasa berarti sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa atau nafsu. Maka sebutan hadits hasan secara bahasa berarti hadits yang baik, atau yang sesuai dengan keinginan jiwa.
Adapun pengertian lain dari para ulama-ulama tentang hadits hasan ini, antara lain:
a.    At-Turmudzi mendefinisikan hadits hasan sebagai “Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta. (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan hadits tersebut di riwayatkan pula melalui jalan lain.”[22]
b.    Ibnu Hajar mendefinisikan hadits hasan sebagai “Khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya,khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa berilat dan syadz di sebut hadits shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih.”[23]
c.    Ath-Thibi mengemukakan definisi hadits hasan sebagai “Hadits musnad (muttashil dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah atau hadits mursal yang (sanadnya) tsiqah , akan tetapi pada keduanya ada perawi lain: Hadits itu terhindar dari syudzudz dan illat).”
d.   Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadits hasan sebagai “Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan tidak syadz.”
Jadi dari definisi-definsi di atas, dapat dikatakan bahwa hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadits shahih, ingatan atau daya hafalannya sempurna, sedangkan hadits hasan kurang sempurna.
2.    Syarat-syarat Hadits Hasan[24]
Secara rinci syarat-syarat hadits hasan sebagai berikut:
a.    Sanadnya bersambung,
b.    Perawinya ‘adil,
c.    Perawinya dhabith, tetapi kualitas kedhabitannya di bawah kedhabitan perawi hadits shahih
d.   Tidak terdapat kejanggalan atau syadz; dan
e.    Tidak ber’illat.
3.    Pembagian Hadits Hasan
a.    Hasan Li Dzatihi
Yang dimaksud dengan hadits Hasan Li Dzatihi ialah hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
b.   Hasan Li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi itu terjadi dari hadits dha’if jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak di ketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya.
Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat keshahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadits tersebut banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa (mitslahu) maupun mirip (nahwahu).
Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakannya hasan, dari jalur Syu’bah bin ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah dari bapaknya, bahwasanya ada seorang perempuan dari Bani Fazarah menikah dengan mahar dua sendal. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“Apakah engkau rela (ridha) sebagai gantimu dan hartamu dua sandal (maksudnya apakah engaku rela maharmu dua sandal).” Perempuan itu menjawab: “Iya (saya rela)” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkannya.
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata:”Dan dalam bab ini ada hadits dari ‘Umar, Abu Hurairah, dan ‘Aisayhradhiyallahu ‘anhum.” Maka ‘Ashim adalah seorang yang dha’if disebabkan buruknya hafalan. Namun imam at-Tirmidzi telah mengatakan bahwa hadits ini hasan dikarenakan datangnya riwayat ini dari banyak versi (sisi).[25]
4.    Kehujahan Hadits Hasan
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadits hasan seperti halnya hadits shahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukan hadits hasan ini, baik hasan li-dzatih maupun hasan li-ghairih ke dalam kelompok shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meski tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama banyak yang beramal denganhadits hasan ini. Sepertinya Al-Khattabi lebih teliti tentang penerimaan mereka terhadap hadits ini. Oleh karena itu Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang diterima sebagai hujjah) adalah hadits hasan li-dzatihi. Sedangkan terhadap hadits hasan li-ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh banyaknya riwayat (riwayat lain) maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian maka tidak sah berhujjah dengannya.[26]
5.    Kitab yang memuat hadits hasan
Kitab-kitab yang yang banyak memuat hadits hasan ini adalah Kitab Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abu Daud dan Sunan Ad-Daruquthny.[27]

C.  Hadits Dha’if

1.    Pengertian Hadits Dha’if
Hadits Dha’if adalah Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan. Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[28]
Menurut Imam an-Nawawi, hadits dha’if adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan. Ada pendapat lain yang lebih tegas dan jelas di dalam mendefinisikan hadits dha’if ini, yaitu menurut pendapatnya Nur ad-Din ‘Atr. Beliau berpendapat hadits dha’if adalah hadits yang hilang salah satu saja syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan)[29]

2.    Penyebab Hadits Dha’if Ditolak

Sebab-sebab hadits dhaif ditolak, dilihat dari dua jurusan:
a.    Sanad Hadits
Dari sisi sanad Hadits ini diperinci ke dalam dua bagian[30]:
1)   Ada kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya maupun kedhabitannya,ada 10 macam:
a)    Dusta
b)   Tertuduh dusta
c)    Fasiq
d)   Banyak salah
e)    Lengah dalam menghafal
f)    Banyak wahamnya
g)   Menyalahi riwayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya
h)   Tdak diketahui identitasnya
i)     Penganut bidah
j)     Tidak baik hafalannya
2)   Sanadya tidak bersambung
a)    Gugur pada sanadnya
b)   Gugur pada sanad terakhir (sahabat)
c)    Gugur dua  orang rawi atau lebih secara berurutan
d)   Rawinya yang digugurkan tidak berturut-turut
3.    Pembagian dan Contoh Hadits Dhaif
a.    Ditinjau dari segi persambungan sanadnya
Ditinjau dari segi persambungan sanadnya (ittisal al-sanad), ternyata para ulama hadits menemukan banyak hadits yang sanadya tdak beresambung atau terputus. Hadits –hadits yang tergolong  dalam kelompok ini, diantaranya adalah hadits mursal, hadits munqati’, hadits mu’dal, dan hadits mudallas.[31] Berikut adalah penjelasan hadits dha’if Ditinjau dari segi persambungan sanadnya:
1)   Hadits Mursal
Secara etimologis, “mursal” diambil dari kata “irsal” yang berarti “melepaskan”. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyebut sebagai suatu hadits, karena orang yang meeriwayatkannya  melepaskan itu kepada Nabi, tanpa menyebut riwayatnya, yakni tidak menyebutkan rawinya, yakni tidak menyebutkan seseorang  yang pertama mengeluarkan hadits itu.
Berdasarkan definisi diatas, maka hadits mursal dapat dibagi dua macam, yaitu mursal al-jali dan mursal al-khafi. Jenis hadits  mursal al-jali yaitu tidak disebutkan nama sahabat tersebut oleh tabi’in besar, sedang jenis kedua, mursal al-khafi, yaitu pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.
Termasuk dalam kategori hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang ia sendiri tidak langsung menerima dari Rasul saw.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadits mursal. Menurut  Muhammad ‘Ajjal al-Khatib pertama, membolehkan berhujjah dengan hadits mursal secara mulak. Ulama yang termasuk kelompok pertama adalah Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat sebagian ahli ilmu. Kedua, tidak membolehkan secara mutlak. Diceritakan oleh Imam Nawawi pendapat inididukung oleh jumhur ulama ahli hadits, Imam Syafi’I, kebanyakan ulama ahl fiqih, dan ahli ushul, dan ketiga, membolehkan menggunakan hadits mursal apabila ada riwayat lain yang musnad, diamalkan oleh sebagian ulama. Apabila terdapat riwayat lain yang musnad, maka hadits tersebut bisa dijadikan hujjah.
2)   Hadits Munqati’
Menurut Muhammad al-Sabag, hadits munqati’ adalah “hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi, atau pada sanad tersebut disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya.
Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadits munqati’ jelas termasuk kategori hadits dha’if. Oleh karenananya tidak dapat dijadikan hujjah. Sebab dengan gugurnya seorang perawi atau lebih, menyebabkan hilangnya salah satu syarat-syarat dari hadits shahih.
3)   Hadits Mu’dhal
Secara etimologis, kata mu’dhal berarti “sesuatu yang sulit dicari” atau “sesuatu yang sulit dipahami”. Sedangkan secara terminologis hadits mu’dhal didefinisikan sebagai “hadits yang gugur dua sanadnya dua atau lebih,secara berturut-turut”.
Hadits mu’dhal berbeda dengan hadits munqati’. Ada hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut. Sedang pada hadits munqati’, gugurnya dua orang perawi, terjadi secara terpisah (tidak berturut-turut).
4)   Hadits Mu’allaq
Secara etimologis, kata mu’allaq adalah isim maf’ul dari kata “allaqa” yang berarti “menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga itu menjadi tergantung”.
Sedangkan secara terminologis hadits mu’allaq adalah “hadits yang dihapus dari awal sanadnyaseorang perawi atau lebih secara berturut-turut”.
Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada mukaddimah bab mengenai “menutup paha”,’berkata Abu Musa, “Rasulullah saw. Maenutupi kedua lutut beliau ketika Usman masuk”. Hadits tersebut adalah hadits mu’alla, karena bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
Hadits mu’allaq hukumnya mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad. Hukum ini adalah untuk hadits mu’allaq secara umum. Akan tetapi hadits mu’allaq yang terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim, mempunyai    guru ketentuan khusus. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya sanad dari hadi-hadits itu bersambung, namun karena untuk meringkas dan mengurangi terjadinya pengulangan, maka sebagian perawinya dihapus.
5)   Hadits Mudallas
Secara etimologis, kata mudallas merupakan isim maf’ul dari kata tadlis yang berarti “menyumbunyikan cacat barang  yang dijual dari si pembeli”. Sedangkan secara terminologi  ilmu hadits, didefinisikan sebagai “menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakkannya pada lahirnya dalam bentuk yang baik.
b.    Ditinjau dari Segi Sandarannya
Para ahli hadits memasukkan kategori kelompok hadits dha’if, segala hadits yang mauquf dan dan maqtu’. Berikut penjelasannya:
1)   Hadits Mauquf
Hadits mauquf yaitu hadits yang diriwayatkan berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus. Contoh:
صحيح البخاري - (ج 20 / ص 39)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبُو المُنْذِرِ الطُّفَاوِيُّ عَنْ سُلَيْمَانَ الْأَعْمَشِ قَالَ حَدَّثَنِي مُجَاهِدٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ.وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ.
Hadits diatas yang bergaris bawah adalah hadits mauquf, karena itu adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu adalah sabda Rasulullah .
2)   Hadits Maqthu'
Yaitu perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'iy serta dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung maupun tidak. Contohnya adalah perkataan Haram bin Jubair yang merupakan salah seorang senior dikalangan tabi'iy:
 المؤمن اذا عرف ربه عز وجل احبه, واذا احبه اقبل اليه.
"Orang mukmin itu apabila telah mengenal Tuhannya , niscaya ia mencintai-Nya, dan apabila ia mencintai-Nya, niscaya Allah menerimanya.

4.    Kehujahan Hadits Dha’if

Sebenarnya  sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat beragam, diantaranya :
a.    Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Bagi kalangan ini hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.[32]
b.    Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Diantara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.[33]
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, “Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”[34]

c.    Kalangan Menengah/Moderat
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi, sebagai berikut[35]:
1)   Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
2)   Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
3)   Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
4)   Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.

d.   Tingkatan Hadits Dha’if

Hadits dha’if bertingkat tingkat keadaannya berdasarkan lemahnya para perawi antara lain: dha’if, dha’if jiddan, wahi, munkar. Dan seburuk-buruk tingkatan hadits adalah hadits maudhu’, berikut contohnya:
1)   Sanad paling lemah dari Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Shadaqah bin Musa Ad-Daqiqy, dan Farqad As-Sabakhy, dari Murrah Ath-Thib, Dari Abu Bakar.
2)   Sanad paling lemah dari Ibnu Abbas adalah Muhammad bin Marwan, dari Kalaby, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas. Al-Hafidz ibnu Hajar berkata: “ini adalah silsilah pendusta bukan silsilah emas.”

e.    Kitab yang diduga memuat Hadits Dha’if

Hadits-hadits dha’if banyak terdapat pada sebagian karya berikut[36]:
1)   Ketiga Mu’jam Ath-Thabarani – Al-Kabir, Al-Awsath, Ashaghir
2)   Kitab Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni. Di dalam kitab ini terdapat hadits-hadits Al-Fardu Al-Muthlaq, dan Al-Fardu An-Nisbi.
3)   Kumpulan karya Al-Khathib Al-Baghdadi
4)   Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’ karya Abu Nu’am Al-Ashbahani

KESIMPULAN

Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan dibagi menjadi tiga, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. hadits shahih adalah satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan hafalan yang sempurna (dhabith), serta tidak ada penyelisihan dengan periwayat yang lebih terpercaya darinya (syadz) dan tidak ada ‘illat yang berat.
Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadits shahih, ingatan atau daya hafalannya sempurna, sedangkan hadits hasan kurang sempurna. Hadits dha’if adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Manna'. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.
Bariyah, Oneng Nurul. Ilmu Hadis. Jakarta: Tunas Ilmu, 2011.
Ichwan, Muhammad Nor. Studi Ilmu Hadits. Semarang: Rasail Media Grup, 2007.
Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah, 2010.
Mudasir. Ilmu Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
Suryadilaga, M. Alfatih. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2010.
Zein, Muhammad Ma’shum. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jombang: Darul Hikmah, 2008.
















[1] Oneng Nurul Bariyah. Ilmu Hadits. Jakarta: Tunas Ilmu. 2011. h.70.
[2] Manna’ Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2014.h.117.
[3] Muhammad Nor Ichwan. Studi Ilmu Hadits. Semarang: Rasail Media Grup, 2007.h.124

[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] M. Alfatih Suryadilaga. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2010.h.245.
[7] Ibid.h. dan Manna Al-Qaththan. Op.cit.h.117.
[8] Muhammad Nor Ichwan. Op.cit.h.126.
[9] M. Alfatih Suryadilaga. Op.cit.h.246.
[10] Manna Al-Qaththan. Op.cit.h.117.
[11] Muhammad Nor Ichwan. Op.cit.h.126.
[12] Ibid. h.127.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Muhammad Nor Ichwan. Op.cit.h.128.
[16] Ibid.
[17] Ibid.129
[18] Ibid 129
[19] Ibid 129-130, Oneng Nurul Bariyah. Op. Cit.h.74.
[20] Ibid.h.120, ibid .h.74-75.
[21] Oneng Nurul Bariyah. Op. Cit.h.75
[22] Muhammad Nor Ichwan. Op.cit.h.133.
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid.
[26] Ibid
[27] Manna Al-Qaththan. Op.cit.h.123
[28]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.hlm. 164
[29] Mudasir, Ilmu Hadits, Cet. V, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), Hal. 156-157

[30] Abdul Majid Khon. Op.cit.h.164
[31] Muhammad Nor Ichwan. Op.cit.h.134
[32] Oneng Nurul Bariyah. Op.cit.h.87
[33] Ibid. h.88.
[34] Ibid.
[35] Oneng Nurul Bariyah. Op.cit.h.88.
[36] Manna Al-Qaththan. Op. cit. h.132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar