TUJUH RAHASIA IBU
Cerita bermula ketika aku masih
kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang
miskin. Bahkan untuk makan
saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan bahagian
nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata : “Makanlah
nak, aku tidak lapar” ———-RAHASIA IBU YANG PERTAMA
Ketika
saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya
untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil
pancingan, ia dapat memberikan sedikit makanan bergizi untuk pertumbuhan.
Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera.
Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping kami dan memakan sisa
daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan
yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu
menggunakan suduku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat
menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———- RAHASIA
IBU YANG KE DUA
Sekarang
aku sudah masuk Sekolah Menengah, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu
pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak mancis untuk ditempel, dan hasil
tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kepentingan hidup. Di
kala musim sejuk tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih
bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel
kotak mancis. Aku berkata : “Ibu, tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu masih
harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, aku tidak penat”
———- RAHASIA IBU YANG KE TIGA
Ketika
ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika
hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih
menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi loceng
berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan
menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu
kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental.
Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu
sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata : “Minumlah nak, aku tidak haus!” ———- RAHASIA
IBU YANG KE EMPAT
Setelah
aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu
yang sudah tua sudah waktunya pencen. Tetapi ibu tidak mahu, ia rela untuk
pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi keperluan
hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan
sedikit uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, tetapi ibu berkeras tidak
mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata :
“Saya ada duit” ———- RAHASIA IBU YANG KE
LIMA
Setelah lulus dari ijazah, aku pun
melanjutkan pelajaran untuk buat master dan kemudian memperoleh gelar master di
sebuah universiti ternama di Amerika berkat sebuah biasiswa di sebuah syarikat
swasta. Akhirnya aku pun bekerja di syarikat itu. Dengan gaji yang lumayan
tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi
ibu yang baik hati, bermaksud tidak mahu menyusahkan anaknya, ia berkata
kepadaku : “Aku tak biasa tinggal negara orang” ———-RAHASIA IBU YANG KE ENAM
Setelah memasuki usianya yang tua,
ibu terkena penyakit kanser usus, harus dirawat di hospital, aku yang berada
jauh di seberang samudera atlantik terus segera pulang untuk menjenguk ibunda
tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani
pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan.
Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang
ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku
sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku menatap ibuku sambil
berlinang air mata. Hatiku perit, sakit sekali melihat ibuku dalam keadaan
seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : “Jangan menangis anakku, Aku
tidak kesakitan” ———-RAHASIA IBU YANG KE TUJUH.
Setelah mengucapkan kebohongannya
yang kelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya. Dari
cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan
ingin sekali mengucapkan : “Terima kasih ibu..!” Coba dipikir-pikir teman,
sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah
kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di
tengah-tengah aktiviti kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu
alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan
ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan pasangan kita, kita
pasti lebih peduli dengan pasangan kita. Buktinya, kita selalu risau akan kabar
pasangan kita, risau apakah dia sudah makan atau belum, risau apakah dia
bahagia bila di samping kita. Namun, apakah kita semua pernah merisaukan kabar dari orangtua kita? Risau
apakah orangtua kita sudah makan atau belum? Risau apakah orangtua kita sudah
bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali
lagi… Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi orangtua
kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian
hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar